Minggu, 28 Juni 2015



UPACARA POTONG GIGI (MEPANDES) DARI KACA MATA KEKINIAN


Salah satu Upacara Manusia Yadnya dalam Agama Hindu di Bali yaitu potong gigi (mepasdes). Bagi generasi muda yang selalu kritis dan ingin tahu, akan timbul pertanyaan mengapa kita harus potong gigi, apakah ada sastranya sebagai dasar hukum untuk pelaksanaan upacara potong gigi ini, apakah di India sebagai tempat lahirnya Hindu ada upacara potong gigi ?

Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.

(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).

Selanjutnya disebutkan dalam lontar tersebut bahwa setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, jika Bhatara Kala ingin ketemu orang tuanya agar terlebih dahulu memotong gigi taringnya, setelah itu akan bertemu dengan orang tuanya.

Dalam lontar yang lain yaitu Lontar Smaradahana, diceritrakan bahwa Dewa Ganesha baru dapat mengalahkan raksasa yang sangat jahat Nilarudraka dengan menggunakan patahan taringnya sebagai senjata.

Dalam Lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut :
........ mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya,  tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe  sanggar negaranira Çri Aji.

Terjemahan  bebasnya :
...…. lagi  jika memotong gigi orang yang  belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa  bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini  orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal  itu dilakukan didunia akan mengakibatkan  rusaknya negara sang raja. Jadi dengan demikian  seseorang baru boleh melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik  dewasa dalam arti  sudah pernah  kotor kain.

Dasar hukum secara Sastra Hindu, apa yang diuraikan di atas mungkin sudah cukup menjawab, alasan upacara Potong Gigi (Mepandes) tersebut.

Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa  pada bangsa-bangsa pra sejarah  di daerah kepulauan  Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu  kepercayaan pentingnya  memotong bagian-bagian  tertentu dari  tubuh  seperti rambut,  gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban  kepada nenek moyang.  Penyiksaan diri  dalam batas-batas tertentu dianggap  sebagai korban  dalam agama, antara lain adalah tapa dan  brata.

Bagi generasi muda yang berpikir kekinian dan sedikit hedonis, belumlah cukup puas dengan apa yang diuraikan di atas. Berikutnya saya coba kutipkan dialog antara pasien dengan seorang Dokter Gigi yang bernama Drg. Dio Nella yang tertuang dalam blog yang dimiliki dokter tersebut.

Pasien  :  “Dok gigi saya tidak rata, sehingga wajah saya nampak kurang menarik, bisakah dokter membuat gigi saya rata, rapi dan teratur ?”

Dokter :  “Untuk merapikan gigi dalam batas-batas tertentu bisa namun lebih pas dibawa ke dokter gigi spesialis Ortodontis. Namun saya ingin menyampaikan bahwa jika anda ingin giginya sangat rapi dan rata, maka akan ada kesulitan dalam memakan atau menguyah makan tertentu. Tuhan sudah menciptakan gigi manusia tidak terlalu rapi karena masing-masing gigi mempunyai tugas yang tidak sama, jika diratakan maka ada kesulitan dalam mengunyah makanan”.

Pasien : “Oh begitu, terima kasih dokter atas pengetahuannya tentang gigi”.

Apa yang kita dapat petik dari dialog Pasien dengan Dokter tersebut ? Bahwa jika gigi kita diratakan seluruhnya menjadi sangat rapi, maka akan ada kesulitan untuk mengunyah makanan tertentu, misalnya daging yang cukup keras. Namun disisi lain wajah akan nampak lebih cantik dan rapi. Di sisi lain jika gigi kita biarkan sedemikian sesuai aslinya, maka kita akan dengan mudah mengunyah segala makan makanan termasuk berbagai jenis daging, dan akan cendrung menikmati makanan dengan jumlah yang lebih banyak.  ini identik dengan keserakahan (loba) yang sangat mungkin nafsu makan kita kurang dapat dikendalikan.

Dengan demikian, Potong Gigi ini merupakan jalan tengah, agar kita sebagai manusia bisa “ngeret indriya” atau mengendalikan diri dalam menikmati makanan. Upacara Potong Gigi hanya meratakan sedikit saja lekukan-lekukan kecil yang ada di 6 gigi depan, namun tidak sampai meratakan total termasuk gigi taring yang memang kelihatan sedikit menonjol. Dengan demikian kita telah mencoba mengendalikan diri dalam hal makan, salah satu dari Sad Ripu.

Coba kita bandingkan dengan “Khitan” dalam Agama Islam. Dalam sebuah buku yang berjudul  “Khitan Wanita dan Prostitusi” yang ditulis oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan H.Qomari, S.Pd.I, M.Si, dalam halaman 10-11 tertulis : “Dalam Kitab “Ahkam al-Nisa”, Al-Jauzi mengatakan : “Khitan bagi wanita dimaksudkan untuk mengurangi syawatnya agar menjadi seimbang dan tidak mudah melakukan perbuatan zina. Karena sesungguhnya syawat wanita jauh lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Disamping itu Khifat (khitan bagi wanita) bisa menjadikan wajah ceria dan lebih disayang suami”

Apa yang kita dapat petik prihal khitan tersebut ? Tujuan khitan rupanya ada kemiripan dengan tujuan potong gigi, sama-sama untuk pengendalian hawa nafsu, hanya untuk potong gigi pengendalian lebih dititik beratkan pada saat makan, sedangkan khitan lebih menekankan pada pengendalian hawa nafsu birahi.

Bagaimana dengan di India, apakah disana ada Upacara Potong Gigi ?
Penulis pernah ke India tahun 1999, belum pernah mendengar adanya Upacara Potong Gigi di India. Demikian juga dalam bacaan-bacaan baik berupa buku maupun di internet. Perlu diketahui bahwa Hindu tidak sama dengan Agama lain. Hindu menganut sistem desentralisasi dimana di masing-masing negara/wilayah/daerah pelaksanaan keagamaan boleh berbeda, namun harus tidak bertentangan dengan Veda. Setiap orang Suci ( Pandita atau Rsi) yang memiliki kemampuan spitual sangat dalam dan diakui oleh umatnya, maka orang suci tersebut dapat membuat suatu tuntunan keagamaan yang berlaku didaerah tersebut. Contoh misal Empu Markadeya, Empu Kuturan, Dang Hyang Nirartha, Empu Sangkulputih dll, dahulu membuat model sesajen yang dipergunakan di Bali saat ini, dan sangat diakui dan dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, dimana sesajen model tersebut tidak kita temukan di India. Yang perlu diingat bahwa bahan dasar dari sesajen tersebut sesuai dengan tuntunan Veda : Patram, Puspam, Palam dan Toyam. Tidak menuntup kemungkinan juga suatu saat di Jawa ada seorang Pandita Sakti yang sangat diyakini oleh umatnya, maka akan muncul secara perlahan adanya sesajen Jawa yang diakui dan dijalankan oleh umat Hindu di Jawa. Bahkan di beberapa tempat seperti di kawasan Tengger sudah ada sesajen khas Tengger yang sudah dipakai sejak jaman dulu.

Coba kita simak sloka Manawa Dharmasastra VII.10 , yang berbunyi :

karyam so’vekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa (Tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh bertentangan dengan tattwa (kebenaran).

Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, Hindu bali berbeda dengan Hindu Jawa , Hindu Kalimantan berbeda dengan Hindu Lombok, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam prateknya selalu meyesuaikan dengan Perkembangan Jaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada. Demikian pula halnya dengan bahasa yang digunakan. Contoh misalnya ; kitab Mahabharata pada jaman dahulu dirubah menggunakan bahasa Jawa kuno. Banyak sekali kitab Hindu yang berbahasa jawa kuno yang merupakan tafsiran dari kitab Hindu yang berbahasa sansekerta.

 

 ( I Gusti Ketut Budiartha)

Refrensi bacaan :
4.      “Khitan Wanita dan Prostitusi” oleh  oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan H.Qomari, S.Pd.I, M.Si.
5.    https://www.facebook.com/hindubali/posts/448762148479770 

Sabtu, 27 Juni 2015

Pertemuan Dukun Pandita Tingkat Jawa Timur

Pada Tanggal 27 Juni 2015 bertempat di Bromo Probolinggo diadakan pertemuan Dukun Pandita se Jawa Timur. Ketua PHDI Jatim Bapak Drs. I Ketut Sudiartha, M.Pd.H berkenan memberikan materi yang terkait dengan Fungsi dan Peranan Dukun Pandita dalam kaitan dengan ritual Agama Hindu. Pemateri perikutnya adalah Bpk. Ida Made Windya selaku Pembima Hindu Jawa Timur.

Bersatu dalam Rajutan Tantra

Prof. I Ketut Widnya PhD. [Rektor IHDN Gde Pudja – Mataram] Kesamaan-kesamaan dalam ajaran Tantra telah menyatukan Hindu (Siwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab keagamaan tunggal: Sivabuddha. Dalam teks sastra Jawa Kuno kenyataan itu berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Siva”, yang berarti: tidak ada perbedaan apakah Anda seorang penganut Siva atau Buddha. Sebagian besar sarjana menerima Tantrayana merupakan faktor utama yang memberi ruang terjadinya fusi antara Sivaisme dan Buddhisme, sehingga menjadi suatu mazab keagamaan yang berdiri sendiri di Indonesia. Bahkan Moens secara khusus melukiskan bahwa Tantrayana, khususnya Kalacakratantra, bertanggung jawab atas penyatuan mazab Siva-Buddha di Indonesia. Dr. N.J. Krom juga berpendapat. penyatuan antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia dimungkinkan karena pengaruh Tantrayana atas kedua sistem keagamaan tersebut. Zoetmulder menerima pendapat Krom tentang pengaruh Tantrayana dan menamakan fenomena ini dengan nama: “tantirme-bhairavabouddhique”, yang ditandai dengan pelaksanaan upacara inisiasi di pekuburan dan disertai dengan minum darah, alcohol, dan hubungan seks. Tantra itu suatu kombinasi unik antara mantra, upacara, dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga filosofi, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Buddhisme. Definisi Tantra dijelaskan dalam kalimat ini: “shasanat tarayet yastu sah shastrah parikirt-titah, yang berarti, “yang menyediakan petunjuk sangat jelas (clear-cut guidelines) dan oleh karena itu menuntun ke jalan pembebasan spiritual pengikutnya, disebut sastra.” Akar kata trae diikuti sufiks da menjadi tra, yang berarti ‘yang membebaskan’. Kita melihat penggunaan yang sama akar kata tra dalam kata mantra. Definisi mantra adalah: “mananat tarayet yastu sah mantrah parikirt-titah” yang berarti: “Suatu proses yang, ketika diulang-ulang terus menerus dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra.” Beberapa sarjana mencoba membagi Tantra menjadi dua bagian utama, yaitu: “jalan kanan” dan “jalan kiri.” Bernet Kemper dalam bukunya, Monumental Bali, Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments, terbitan tahun 1991, halaman 53, berpendapat, Tantra “jalan kanan” (menghindari praktik ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui asketisme) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black magic dan ilmu sihir). Ia menegaskan, di “jalan kanan”, bhakti atau penyerahan diri memegang peranan sangat penting; dan lebih daripada itu, bhakti cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecenderungan sangat berbeda. Ia berusaha keras menguasai aspek-aspek kehidupan yang mengganggu dan mengerikan, seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut, eksistensi kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan, seperti di pekuburan. Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan praktisi Tantra. Para praktisi Tantra pada umumnya menolak pembagian Tantra atas Tantra positif dan negatif. Mereka menekankan pada metode untuk mentransformasikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tantra Tibet, mengatakan, Tantra menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun Tantra mengakui bahwa khayalan, seperti keterikatan kepada keinginan, adalah sumber penderitaan dan oleh karena itu harus diatasi, namun Tantra juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti halnya mereka yang dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikannya obat mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktik Tantra, mampu memanipulasi energi keinginan, bahkan kemarahan, menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan. Dalam pengertian tertentu, Tantra merupakan suatu teknik mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisasi sang Diri dengan menggunakan berbagai medium, seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain, meditasi, dan berbagai cara pemujaan, serta praktik yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan seksual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam Tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan Tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia. Hubungan seks dalam Tantra, seperti diperkirakan oleh Dasgupta, merupakan penyimpangan konsep awal Tantra. Konsep awal Tantra meliputi elemen-elemen seperti yang disebutkan tadi, yakni: mantra; yantra, mudra, dan yoga. Penyimpangan tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” (practical means) dalam Tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahayana dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi. Dengan kata lain, tujuan tertinggi, baik Tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktik (prajna dan upaya) serta merealisasikan sifat non-dual Realitas Tertinggi. H.B. Sarkar dalam buku Literary Heritage of South East Asia yang terbit tahun 1980, halaman 71, menyatakan, hubungan seksual dalam Tantra lebih diarahkan untuk mengontrol kekuatan alam, bukan untuk mencapai pembebasan. Ia mengatakan, secara umum, tradisi Indonesia membagi tujuan hidup manusia menjadi dua: pragmatis dan idealistis. Mengontrol kekuatan alam merupakan salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktikkan sistem Kalacakrayana dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Di Indonesia dikenal tiga jenis Tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat; Bhairava Kalacakra yang dipraktikkan oleh Raja Krtanegara dari Singasari dan Adityavarman dari Sumatra yang sezaman dengan Gajahmda di Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali. Arca Bhairava Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar, Bali. Menurut Prasasti Palembang (684 M), Tantrayana masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Srivijaya di Sumatra pada abad ke-7. Kalacakratantra memegang peranan penting dalam penyatuan Sivaisme dan Buddbisme, karena dalam Tantra ini, Siva dan Buddha dipersatukan menjadi Sivabuddha. Konsep Ardhanarisvari memegang peranan yang sangat penting dalam Kalacakratantra. Kalacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan penyatuan Dewi Kali yang mengerilcan,.tidak hanya dengan Dhyani Buddha, melainkan juga dengan Adi Buddha sendiri. Kalacakratantra mempunyai berbagai nama dalam sekte Tantra yang lain, seperti Hewajra, Kalacakra, Acala, Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candamaharosana, dan variasi bentuk Heruka. Dalam Tantrayana, ritual merupakan elemen utama buat merealisasikan Kebenaran Tertinggi. John Woodroffe mengatakan, ritual merupakan seni keagamaan. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi ide-ide yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut religius. ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religius ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan symbol-simbol oleh pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan, di mana, untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan Diri Beliau Sendiri. Tetapi ritual tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religius sebagai alat, pikiran ditransformasikan dan disucikan. Mazab Siva-Buddha dengan pengaruh khusus Kalacakratantra dapat dilihat pada tinggalan-tinggalan arkeologi, seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam Nagarakrtagama canto 56, stanzas 1 and 2, melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah candi, yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Sivaistis, sedangkan bagian atas atau atap adalah Buddhistis, karena dalam ruang terdapat area Siva dan di atasnya, di langit-langit, terdapat arca Aksobhya. Inilah alasannya mengapa Candi Jawi menjadi sangat tinggi, dan oleh karena itu disebut sebuah Kirtti. Dalam Tantra Hindu prinsip metafisik Siva sakti dimanifestasikan di dunia material ini dalam wujud laki-laki dan perempuan. Demikian pula halnya dalam Tantra Buddha pola sama diikuti, di mana prinsip-prinsip metafisik Prajna dan Upaya dimanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki-laki. Tujuan tertinggi kedua mazab Tantra ini adalah penyatuan sempurna, yaitu penyatuan antara dua aspek dan realitas dan realisasi dan sifat-sifat non-dual roh dan non roh. Secara fundamental, sebagaimana dipaparkan S.B. Dasgupta, prinsip-prinsip Tantra sama di mana-mana. Perbedaan-perbedaan kecil, yang barangkali ada, hanyalah perbedaan pada nada dan warna. Dalam Tantra Hindu, nada dan warna diisi oleh ide-ide filsafat, agama dan praktik-praktik agama Hindu. Sedangkan Tantra Buddha diisi oleh ajaran-ajaran agama Buddha. Sehubungan dengan Tantra Hindu dan Buddha ini, H.B. Sarkar mengatakan, mistik yang lebih ma dan ritual dengan praktik-praktik shamanisme diperlakukan serta dimodifikasi dengan perhiasanperhiasaan baru dan pemujaan yang didominasi oleh mantra, mudra, abhiseka, dan sebagainya. Di sini, baik Tantra Buddha maupun Tantra Hindu sebagian besar menggunakan simbol-simbol luar dan polayang sama dalam penyelenggaraan ritual, namun secara keseluruhan isi dan objek kedua Tantra ini berbeda. Sebab, para sadhaka Buddha - melalui praktik Tantra menginginkan pembebasan dan ikatan dunia material dan tenggelam ke dalam kebahagiaan abadi, sedangkan Tantra Siva ingin mengontrol dunia material. Dengan kenyâtaan-kenyataan tersebut tidak mengherankan kalau Sivaisme dan Buddhisme bisa mencapai penyatuan begitu mendalam melalui medium ajaran Kalacakratantra. Alasan atas kuatnya penyatuan tersebut juga dapat ditelusuni melalui fakta sejarah bahwa awal mula kehadiran Kalacakratantra di antara pemeluk Hindu dan Buddha berawal dari perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan Islam. Biswanath Banerjee mengatakan, penyaman dewa-dewi Hindu mencapai puncaknya pada waktu berkernbangnya sistem Kalacakra. Faktor utama yang mendorong berkembangnya kecenderungan berkompromi antara Buddhisme dengan berbagai sekte dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dan kehadiran agama dan kebudayaan Islam. Ini dapat dipelajari dan teks-teks Kalacakra yang memuat bahwa Buddhisme sedang mengalami masalah sosial atas sergapan infiltrasi kebudayaan Smitik. Untuk melakukan perlawanan atas berkembangnya pengaruh kebudayaan asing tersebut, mereka melakukan ketjasama dengan umat Hindu. Maksud memperkenalkan sistem Kalacakra adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu dan konversi (pengalihan agama) ke agama Islam. Dengan maksud unmk menghentikan kerusakan akibat kebudayaan asing, para pemimpin agama Buddha melakukan inter-marriage dan inter-dining antara keluarga Buddha dan Hindu; dan agar mereka tertarik untuk berlindung di bawah panji satu Tuhan Kalacakra, yang diterima di antara mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Adalah sangat mungkin dalam keadaan darurat perang untuk menyatukan berbagai kelompok religius dan berjuang di bawah kepemimpinan Tuhan Kalacakra untuk melawan penganuh asing. Perkembangan mazab ini dengan penyatuan dewa-dewa Hindu yang begitu kuat dalam Kalacakra menyebabkan terjadinya fusi kebudayaan dan mereka akhirnya bersatu menghadapi bahaya yang mengancam dari infiltrasi Islam. Selanjutnya dicoba melakukan penyatuan di antara semua pengikut Brahma, Visnu, Siva, dan termasuk orang-orang suci mereka dalam satu keluarga Vajrakula, dengan empat inisiasi utama dalam Kalacakna, yaitu menghilangkan semua perbedaan dalam ras, kelas, syahadat, dan tradisi. Selain karena pendekatan sejarah dan teologi, banyak juga yang melihat penyatuan Siva-Buddha karena persamaan filosôfi. Ida Bagus Made Mantra mengatakan, persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara Sivaisme (khususnya Siva Siddhanta), dan Buddha Mahayana bertanggung jawab atas berkembangnya mazab Siva-Buddha. Ia memberi uraian yang panjang untuk mendukung pernyataan ini. Dalam filsafat Siva Siddhanta tendapat tiga tattva (realitas): Siva-tatva, Sadasiva-tattva, dan Mahesatattva. Ketiga tattwa tersebut berturut-turut memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Niskala, Sakala-niskala, dan Sakala. Ketiga tattva Saiva Siddhanta itu berkaitan dengan empat Kaya dan filsafat Buddha Mahayana. Keempat kaya itu adalah: Svabhava-kaya, Dharma-kaya, Sambhoga-kaya, dan Nirmaya-kaya. Niskala artinya tanpa bentuk, dan aspek ini merupakan ciri Siva-tatva. Siva dalam posisi tertinggi adalah tanpa bentuk atau tanpa atribut atau dalam suatu keadaan entitas tanpa bentuk yang tak dapat dibedakan (undifferentiated formless entity). Dalam kedudukan ini semua bentuk-bentuk yang diciptakan dari corporealitas menyatukan badan mereka dalam penyebab awal (Primeval Cause). Keadaan ini merupakan keadaan damai yang tidak dapat dimengenti. Dalam kedudukan ini pula Realitas Tertinggi dipahami tanpa awal dan akhir, meresap ke dalam seluruh Alam Semesta, talc terpisahkan, dan tidak dapat dibandingkan. Inilah keadaan yang dipahami sebagai keadaan Niskala. Svabhavaka-kya aclalah kesadaran murni, bersih dari semua semua kekotoran subjektif dan obyektif, pasif, tanpa aktivitas, meliputi alam semesta, penyatuan kosmis dan kebijaksanaan yang tak terbatas dari kebajikan, memiliki kasih sayang universal, prinsip-prinsip dalam (inner principle) dari semua Dharma. Sifat-sifat tersebut adalah sifat svabhavaka-kaya yang diidentifikasikan dengan Buddha. Keempat kaya tersebut diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, Svabhavaka-kaya dan Dharma-kaya, yang bersifat kesucian sempurna, pasif di dalam pninsip-pninsipnya. Kelompok kedua, muncul di dunia ini untuk dipertunjukkan. Di sini perlu digarisbawahi: Svabhavaka-kaya kadangkala tidak dijelaskan, dan oleh karena itu, hanya Dharma-kaya mewakili prinsip murni dan pasif. Mazab Shinghong dan Buddha Mahayana di Jepang juga mempunyai teori manifestasi penyatuan alam (manifestation of the cosmic unity) yang kurang lebih memiliki persamaan dengan Siva Siddhanta. Menurut mazab ini, Tathagata Mahavainocana atau Dahrmakaya mempunyai dua perwujudan, yaitu Garba-dhatu (matrix element), dan Vajra-dhatu (thunder element). Garba-dhatu memiliki karakter: (a) meditasi Agung; (b) kebijaksanaan; (c) kasih sayang, dan masing-masing dari ketiganya diatributkan kepada Buddha, Vajra, dan Padma. Buddha bersesuaian dengan Tathagata Mahavairocana yang menandakan pengetahuan sempurna; Vajra bersesuaian dengan Vajra-sattva menandakan suatu kebijaksanaan, pasti dalam sifatsifatnya, dan menghancurkan semua penderitaan; dan Padma bersesuaian dengan Avalokitasvana, menandakan pemikiran murni dari bagian dalam makhluk hidup. Dhatu kedua, Vajra-dhatu (elemen halilintar), mempunyai lima aspek, tiga di antaranya termasuk tiga kelas sebagaimana dijelaskan dalam Garba-dhatu, dan dua lainnya adalah Ratnanubhava dan Karmanubhava. Sifat-sifat Ratnanubhava mengungkapkan kebenaran dan pembebasan sempurna dari Buddha tanpa pembatasan; dan Karmanubhava yang kelima memperlihatkan pemenuhan dari seluruh kegiatan. Dalam perbandingan sistem kosmologi antara filsafat Buddha Mahayana dan Saiva-Siddhanta, Ida Bagus Made Mantra mengatakan, keduanya mempunyai basis yang sama. Ini terlihat dari tritunggal Saiva-Siddhanta, seperti Paramasiva, Sadasiva, dan Sadasiva-Mahesvara dengan bentuknya dalam Niskala dan Niskala-sakala yang paralel dengan tritunggal Buddha, yakni: Buddha Vajrasattva dan Avalokitesvara dengan bentuk mereka berturut-turut sebagai Dharmakaya, Sambogakaya, dan Nirmana-kaya. Dalam Buddha Mahayana, keadaan tertinggi adalah Boddhi Citta atau pikiran yang tercerahkan. Boddhi Citta ini mempunyai dua elemen yang terdiri atas Sanyata, pencerahan sempurna dari sifat-sifat kesunyataan; Karuna, kasih sayang universal untuk semua makhluk hidup. Penggabungan menjadi satu dari kedua elemen tersebut (Sanyata dan Karuna) dikenal sebagai Advaya. Dalam ajaran Vajrayana, realisasi kedua elemen tersebut sangat penting. Dikatakan bahwa dalam keadaan Sanyata adalah berdasarkan pada realisasi bahwa semua benda adalah fana, tanpa roh (transitory, non-ego). Mereka seperti khayalan dalam mimpi, dan tidak nyata. Sanyata diberkati dengan kesucian, tanpa eksistensi, tidak terlahirkan, dan kosong. Sedangkan Karuna, yang mewakili kasih sayang Semesta, dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan yang benar kepada umat manusia. Keinginan menyebabkan manusia diikat oleh kebodohan, dan tidak bisa merealisasikan hukum tumimbal lahir karena tekanan kegiatan mereka. Kasih sayang menyiratkan terhilangkannya ikatan, dan menuntun mereka kepada kehidupan yang percaya dengan hukum saling ketergantungan (Pratatya-samutpada). Sebagaimana dijelaskan tadi, penggabungan kedua elemen tersebut dinamakan advaya ini seperti bercampurnya garam dalam air, yang hasilnya berupa penghilangan dualitas sehingga memunculkan non dualitas. Belakangan, dalam mazab Vajrayana, ide tersebut diganti dengan Adi Buddha dan Prajna. Jadi, kedua area ini mewakili Sunyata dan Karuna. Hubungan di antara kedua area tersebut dilukiskan dalam beberapa teks sebagai conjugal love (shajam prema) yang bersifat alami. Yuganaddha (conjugal relation) kemudian dinamakan advaya, yang tidak lain daripada Boddhi-citta dan Dharma-kaya. Konsep sakti dalam agama Buddha juga paralel dengan sakti dalam Sivaisme. Konsep Yubyam dalam Buddha diwakili oleh Siva dan saktiNya, Parvati. Secara teknis, bentuk ini disebut Ardhanarisvara-murti. Di sini Siva Sendiri adalah murni dan Sakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan roh-roh yang terikat dari karma mereka. Uraian-uraian tadi menunjukkan dengan jelas: kesamaan-kesamaan dalam ajaran Tantra telah menyatukan kedua agama tersebut, Hindu (Siwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab keagamaan yang tunggal, Sivabuddha. Dalam teks sastra Jawa Kuno kenyataan ini berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Siva”, yang artinya tidak ada perbedaan apakah Anda seorang penganut Siva atau Buddha. [I Ketut Widnya – SARAD 119 Maret 2010].

BHAKTI MARGA

'Bhakti' artinya cinta kasih. Istilah bhakti ini digunakan untuk menyatakan cinta kepada sesuatu yang lebih dihormati, misalnya kehadapan Sanghyang Widhi, Negara, ataupun pribadi-pribadi yang dihormati. Dalam kaitan bhakti kepada Tuhan (Sanghyang Widhi), bhakti dibagi atas dua tingkat yaitu 'aparabhakti' dan 'parabhakti'. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kerochanian yang tinggi. Sedangkan parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerochaniannya sudah meningkat. Contoh aparabhakti : 1. kegiatan ritual keagamaan yang rajin dilakukan tetapi kurang/tidak dimengerti arti filosofisnya atau tattwa dari upacara dimaksud. 2. rajin bersembahyang, tetapi pikiran, perkataan dan perbuatannya belum/kurang mencerminkan dharma dan kasih sayang. Contoh parabhakti : 1. kegiatan ritual keagamaan yang mantap karena para bhakta mengerti, menghayati tattwa-nya 2. pikiran, perkataan dan perbuatan yang mencerminkan dharma dan penuh kasih sayang, walaupun melakukan upacara agama yang sederhana. Untuk meningkatkan kwalitas beragama, maka sepatutnya para bhakta selalu berusaha dengan upaya sendiri meningkatkan statusnya dari aparabhakta menjadi parabhakta. Aparabhakti dilakukan oleh bhakta-pemula, sedangkan parabhakti dilakukan oleh bhakta-lanjutan. Om Santih, santih, santih Bhagawan Dwija